"New Age"
Selama dasawarsa 80-an, dan terus berlanjut ke tahun 90-an, marak sekali diskursus seputar New Age Movement. Kemarakan diskursus ini, sebenarnya merupakan puncak kontinuitas sejarah. Dulu, akhir dasawarsa 60-an dan memasuki awal tahun 70-an, sudah lahir benih baru New Age yang populer diekspresikan dalam bentuk self-conscious movement.
Sebagai puncak diskursus, wacana New Age kemudian menjadi trend, dan bahkan menjadi the standard vocabulary dalam diskursus masyarakat Barat yang sekuler. New Age pun, lantas menjadi populer, fenomenal, dan tak jarang menjadi komoditas dan produk aktivitas jurnalistik. Betapa gerakan ini menjadi atraksi dari perhatian media massa, dan sebagai akibat logis dari proliferasi informasi. Sehingga, image populer New Age di kalangan outsiders, justru didasarkan pada publikasi media massa ini, yang terkadang sarat sensasi dan kontroversi. Di Amerika Utara, misalnya, sensasi New Age dikenal publik setelah disiarkan via televisi secara miniseri Shirley MacLaine's Out on a Limb, Januari 1987. Pada Desember 1987, Time juga mempublikasikan New Age Harmonies, yang memfokuskan bahasan flashier, aspek substantif dari gerakan New Age. Bahkan, tahun 1968, sudah beredar keras majalah East West Journal yang dikenal luas sebagai majalahnya New Agers. Istilah ini, memang relatif lebih lazim dipakai dalam konteks gerakan New Age, dibanding misalnya istilah New Age Adherents maupun New Age Believers.
"New Age" dalam lintas sejarah
Dalam lintas sejarah, gerakan New Age dapat ditelusuri ke Inggris, sekitar tahun 60-an. Awalnya, terdapat grup kecil yang akrab dipanggil light groups, seperti theosophical dan chanelling groups. Biasa, light groups ini kumpul bersama sambil berdiskusi secara antusias. Topik diskusi pun relatif unik dan langka, karena sifatnya misterius dan sarat prediksi ke depan. Layaknya futurolog, pernah dalam suatu diskusi, mereka memprediksikan kedatangan World Savior. Juru Selamat dunia? Sebagai diskursus intelektual, prediksi World Savior yang digulirkan light groups, sungguh menggiurkan, khususnya buat simpatisan New Age. Cerdiknya, mereka tak sekadar mengandalkan prediksi, tetapi juga jaringan institusi. Sambil merambah masuk ke Amerika dengan menawarkan the spiritual light, mereka pun membangun institusi baru yang mereka namakan: Universal Link. Suatu institusi yang membuat mereka tampak artikulatif dan visioner, "began to articulate the vision of a transformed people and world."
Eksistensi dan ekspansi spiritual mereka makin solid tatkala seorang teosof, intelektual dan spiritualis David Spangler berkunjung ke Inggris, hanya sekadar mengunjungi light groups ini. Tahun 1973, David harus meninggalkan Inggris, karena hendak buru-buru membangun basis teoretis yang tentu saja diharapkan kuat secara epistemologis dalam konteks gerakan New Age. Dan jangan kaget, David Spangler pun sukses mewujudkan impian besarnya. Yakni, meng-cover ide besar "kelahiran New Age." Terbukti, kira-kira tiga tahun kemudian, karya besar Revelation, The Birth of a New Age, (San Francisco-Rainbow Bridge, 1976), meluncur di hadapan publik. Selang delapan tahun, tepatnya 1984, David pun kembali mengulang suksesnya dengan terbitnya, Emergence, The Rebirth of the Sacred, (Detroit: Gale Research Company, 1988). Lewat karya mutakhirnya ini, ia begitu artikulatif mengidentifikasi empat level gerakan New Age.
Pertama, kategori komersial, yang biasa memakai label New Age sebagai marketing ploy, seperti New Age Shoes, atau Food, atau awareness techniques (teknik kesadaran).
Kedua, level New Age yang dikategorikan David Spangler sebagai glamour, biasa terpublikasikan lewat media dan menjelma dalam bentuk "kebudayaan populer." Level ini dilukiskan David Spangler sebagai: populated with strange and exotic beings, masters, adepts, extraterrestrials. It is a place of psychic powers and occult mysteries, of conspiracies and hidden teachings. Namun, tantangan terbesar level ini adalah "rasa keakuan diri" dan cenderung memisahkan diri dari komunitas sosial.
Ketiga, level New Age yang concern pada perubahan, seperti model paradigma perubahan yang dirumuskan Marilyn Ferguson dalam The Aquarian Conspiracy: Personal and Social Transformation in the 1980s (Los Angeles: JP Tarcher, 1980), sebagai: "emerging new forms of government and politics, bussiness, education, gender roles, science, religion, and psychology.
Keempat, level New Age yang secara paradigmatik, ingin mendefinisikan ulang makna "kesucian" dan "mensakralkan kembali bumi, manusia, dan kehidupan sehari-hari." Inilah kategori New Age yang oleh David Spangler dinobatkan sebagai titik awal: fundamentally a spiritual event, the birth of a new consciousness, a new awareness, and experience of life. Karenanya, fokus utamanya adalah transformasi pemikiran dan kehidupan secara global. Ini pula model New Age level ketiga (concerned with change) dan keempat sekaligus, di mana ada konvergensi kultural, spiritual, nilai, dan agenda politik antara pemikiran New Age dengan spiritualitas perempuan.
Visi transformatif "New Age"
Dari lintasan sejarah New Age di atas, tampak obsesi besar yang didambakan New Agers. Meskipun tampil sebagai bagian dari pelopor fenomena gerakan keagamaan-di samping fenomena Cult, Sect, New Religious Movement, dan New Thought yang kesemuanya begitu fenomenal dalam skala global-, New Agers tidaklah bermaksud mendirikan "agama baru." Justru yang menjadi visi sentral New Age adalah apa yang dirumuskan J Gordon Melton dalam Encyclopedic Handbook of Cults in America (New York: Garland Publishing, 1986, hlm. 113), sebagai "one of radical mystical transformation on an individual level." Dan dalam literatur New Age mutakhir, New Religions and the Theological Imagination in America, (Bloomington: Indiana University Press, 1989), Mary Farrell Bednarowski juga sepakat terhadap identifikasi New Age groups yang ditawarkan oleh guru New Age, David Spangler melalui rumusan populernya: "intentional spiritual communities [which] espouse explicitly the idea of an emerging planetary culture based on human transformation."
Pembacaan terhadap alur pikiran J Gordon Melton, Bednarowski, dan David Spangler secara kritis dan umum, dapat ditarik ke satu titik simpul: visi transformasi New Age berpijak dari personal transformation ke arah social transformation. Pada level individu, visinya berlangsung secara personal dan sarat pengalaman mistik. Ini termasuk kebangkitan realitas baru pada diri kita, di mana kita menemukan suatu "psychic abilities, the experience of a physical or psychological healing, the emergence of new potentials within oneself, an intimate experience within community, or the acceptance of a new picture of the universe." Nah, paska personal transformation, visi transformatif New Age berujung pada: "social transformation, social vision of world transformed, a heaven on earth, a society in which the problems of today are overcome and new existence emerges."
Visi transformatif New Age dari personal ke sosial itu, sungguh paralel dengan arus utama kebangkitan spiritual dewasa ini, yang secara epistemologis dimatangkan James Redfield melalui empat karya besarnya sekaligus: The Celestine Prophecy: An Adventure (1993), The Tenth Insight: Holding the Vision, (1996), The Celestine Vision- Living the New Spiritual Awareness (1998), dan The Secret of Shambala (1999). "To change the world, we first had to change our selves," inilah pesan psikologis-spiritual James Redfield yang searah dengan gerakan New Age.
New Agers merasa yakin bahwa dunia ini dapat dirubah dari: "the crisis-ridden, polluted, warlike, and resource-limited world in which we live into a New Age of love, joy, peace, abundance, and harmony." Visi transformatif New Age, memang peka terhadap krisis, sambil mentransformasikan diri menuju idealisasi hidup secara harmonis.
New Agers menilai krisis sebagai akibat dari kesalahan paradigmatik dari pengembangan kebudayaan Barat yang sekuler, justru mengakibatkan malapetaka kemanusiaan. Ilmuwan Wouter J Hanegraaff menyebutnya "a point of extreme danger to humanity and the planet as a whole." Bahkan, posisi kita sekarang ini sudah berada pada suatu kompleksitas krisis. "State of profound, and world-wide crisis," kata Fritjof Capra yang genius itu, melalui karya besarnya The Turning Point: Science, Society, and the Rising Culture, (New York- Bantam Books, 1987).
Krisis multidimensional ini, kata Capra, sudah mengelilingi setiap aspek dalam kehidupan kita: kesehatan, lingkungan, hubungan sosial, ekonomi, teknologi dan politik. Manusia sebagai subjek krisis, mengalami alienasi dan reduksi, dekadensi dan degradasi, sehingga terbiasa dengan tragedi kemanusiaan; kekejaman dan pembunuhan. "It is a crisis of intellectual, moral, and spiritual dimensions," tulis Capra yang sangat mengesankan. Bayangkan, jika Fritjof Capra saja, penulis buku The Tao of Physics yang amat populer di dunia itu, sudah berkesimpulan demikian, apa sikap kita sebagai agamawan? Terpukul? Boleh jadi. Karena, urusan krisis moral dan spiritual itu, sejatinya menjadi tugas utama agamawan? Untuk itu, kita perlu segera berbenah diri: dari krisis menuju harmoni.
Kalangan New Age memakai pisau filsafat perennial sebagai jalan keluar dari krisis moral dan spiritual. Karena, sophia perennis sebagai filsafatnya kalangan New Age, selalu menghidupkan pesan sejati fitrah manusia. Manusia mengalami krisis, karena telah melanggar fitrah asalnya sebagai manusia. Untuk itu, manusia perlu segera menghidupkan kembali fitrah asasinya dalam kehidupan sehari-hari. Fitrah asasi manusia, seperti berkiblat pada keadilan, kebenaran, kebersamaan, toleransi, sikap inklusif di tengah pluralitas, harus menjadi komitmen empiris dalam keseharian hidup manusia. Sayangnya, nilai-nilai asasi fitrah manusia itu, sudah kering dari lingkungan tradisi agama-agama formal. "Such religions are false," kata Hanegraaff melukiskan sikap New Agers yang alergi terhadap agama-agama formal, karena dinilainya cenderung dogmatis, eksklusif, dan eksoteris.
Lantas, apa yang dicari New Agers? Persis seperti yang diproklamirkan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000. "Spirituality, Yes, Organized Religion, No!", kata Naisbitt melukiskan arah baru kecenderungan New Age. Jadi, New Agers kurang simpatik terhadap orientasi agama formal, tetapi justru enjoy terhadap spiritualitas baru yang lintas agama. Karena, hakikat sejati dari agama-agama, bagi kalangan New Age tidaklah bernilai sektarian, tetapi universal; tidak pula eksklusif, tetapi inklusif; serta tidak juga dogmatis, tetapi bersifat eksperiental. Dan itu hanya diperoleh dalam suatu "pengembaraan spiritual," "Spiritual Adventure" begitu James Redfield menyebutnya dalam novel spiritual The Celestine Prophecy: An Adventure (1993).
Spiritual Adventure ini begitu disukai oleh kalangan New Age, terutama untuk mencerahkan wawasan spiritual yang mendamaikan ketenteraman batin. "Turning to the East," kata teolog Harvard, Harvey Cox melukiskan kegairahan spiritualitas Timur yang diburu New Agers, dalam karya populernya, Turning East: The Promise and Peril of the New Orientalism, (1977).
Kenapa spirituality? Karena, New Agers amat meyakini suatu rumusan metafisik: "Spirituality: The Heart of Religions" (Spiritualitas itu, justru hatinya agama-agama). Spiritualitas itu, kata Brahma Kumeri Sudesh -direktur lebih dari 60 pusat spiritualitas di Inggris, Irlandia dan Jerman, adalah kebenaran, damai, cinta kasih, kesucian, kebahagian dan kekuatan di dalam kehidupan. Inilah nilai-nilai spiritualitas baru yang diburu kalangan New Age. "Towards genuine spiritual insight," kata penganut setia gerakan New Age.
Wawasan spiritual yang tulen dan otentik ini, memang digandrungi kalangan New Age, yang ekspresinya diperagakan dalam beragam bentuk: mulai dari meditation, prayer, dzikr, spiritual healing, the sufi healing, sports, and sacred sites. Ini fenomena global, hampir di seluruh belahan dunia: Amerika, Jerman, Eropa Barat, Inggris, Selandia Baru, India dan seterusnya, yang menjadi pusat kegairahan spiritualitas kalangan New Age. Dan jangan kaget, kadang hidup mereka justru menjadi spiritualis, hanya karena membaca buku-buku spiritualitas baru.
Dan uniknya, buku-buku sains modern pun, yang dulu cara pandangnya rasional dan sekuler, sekarang mulai mempertimbangkan wawasan mistik-spiritual. Inilah yang fenomenal di kalangan New Age: titik temu sains modern dengan mistik-spiritual. Namun, ada satu lagi yang jauh lebih fenomenal. Yakni, bangkitnya kesadaran baru dalam fisika, yang ditandai dengan maraknya diskursus New Physics. Ini sudah diartikulasikan secara cerdas oleh fisikawan besar, Fritjof Capra, lewat The Tao of Physics, (1975). Karya ini, mampu menjadikannya sebagai sumber inspirasi dalam pengembangan paradigma holistik dalam fisika yang mengeksplorasi kesejajaran antara fisika modern dengan mistik-spiritual Timur.
Semua itu tidak sekadar sinyal, tetapi juga bukti bahwa manusia era milenium baru sangat mendambakan suatu genuine spiritual insight. Suatu wawasan spiritual yang tulen dan otentik, mencerahkan, sekaligus juga mendamaikan batin. Diri kita seakan-akan menemukan kembali-apa yang ramai disebut-sebut oleh kalangan New Age-sebagai The Universal Harmony. Benarkah? Wallahu A'lam Bishawab.